Sabtu, 23 November 2013

Sepercik Racun dalam Merah Marun


Cinta. Jika berbicara tentang cinta, rupanya tak pernah ada ujungnya. Selalu ada saja yang menarik darinya. Rayuannya yang begitu menggoda membuat para anak manusia mabuk kepayang dibuatnya. Bagiku, cinta itu suci. Cinta tak pernah salah. Hanya penempatan cinta dan ekspresi manusianyalah yang membuat cinta menjadi salah. Bagaimana ia menempatkan cinta pada haknya. Permasalahannya, bagaimana jika cinta lain tumbuh di tengah cinta yang ada? Haruskah cinta yang salah?

Malam itu ponselku berdering. Dengan secepat kilat aku meraih handphoneku yang sedari tadi kutaruh di atas meja belajarku. Kulihat layar ponselku. Tertulis “1 pesan diterima”. Kubuka pesan itu, dan hati-hati kubaca.

From: Anton.
“Alina, bagaimana kabarmu? Sudah makan malam belum?”

Seketika jantungku seolah berhenti. Hatiku gusar. Sebuah pesan yang kini berada dalam tubuh ponselku ternyata dari seseorang yang masih kerabatku. Ya. Anton. Anak dari sepupu ibuku. Kutahu sedari dulu ia mencintaiku. Dan perlahan aku pun mencintainya. Kita saling mencintai dalam diam. Lagi-lagi kini kumenyalahkan cinta. Mengapa cinta tumbuh pada tempat dan waktu yang salah? Mengapa cinta harus menghadirkan luka di dalam diam? Mengapa cinta hadir saat aku dan dirinya telah menjadi milik yang lain? Haruskah cinta yang selalu kusalahkan? Aku dilema. Aku terpenganga. Hatiku seperti terperosok dalam jurang yang terjal. Sakit. Perih. Aku terpenjara oleh rasaku. Haruskah kuteruskan kisah ini?

Anton yang kini telah beristri, diam-diam sering meneleponku. Meski hanya sekadar menanyakan kabar, atau bahkan hanya sekadar menanyakan aku baik-baik saja atau tidak. Dan… Lagi-lagi rasa itu terus tumbuh subur dalam hati yang kini kunamai dengan cinta. Ya. Cinta. Aku dilema. Aku seperti berjalan di atas air keruh. Berat, kotor. Berat kujalani kisah terlarang ini. Dan rasanya kotor sekali perasaan yang kini ada dalam hatiku. Orang bilang aku berselingkuh dengannya. Namun dengan tegas aku mengatakan “tidak”. Aku tidak selingkuh. Jangankan berbicara panjang lebar dan bercanda bersama. Menatapnya, bertemu dengannya, atau bahkan sekadar menyapa saja aku dan dirinya tak pernah. Tak pernah sama sekali. Tapi apa namanya jika kita memiliki rasa dengan laki-laki lain dan membagi cinta kita padanya? Bukankah itu selingkuh? Kita saling mencintai dalam diam. Ya. Mencintai dalam diam. Dan untuk kesekian kalinya, hatiku linglung. Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak tahu arah. Beruntung aku memiliki sahabat yang cukup bijaksana. Ya. Ialah Alya. Nasihatnya perlahan mampu mengubah perasaanku terhadap Anton. Satu hal yang selalu kuingat dari nasihatnya.

“Berikan seluruh cintamu pada pasanganmu. Karena hanya dia yang berhak mendapatkannya. Dan selalu bayangkan ketika suatu saat kamu mengalami sakit, pasanganmu yang selalu ada di sisimu. Dialah orang yang paling khawatir terhadapmu. Ingatlah, cinta membuat kita menjadi pribadi yang dewasa dan pandai memanage hati. Bukan membagi hati. Cinta dari orang yang mengasihi kita itu penting. Tetapi jauh lebih penting seberapa besar cinta yang bisa kita berikan terhadap orang yang menyayangi kita. Seutuhnya, bukan separuh. Berikan seutuhnya. Maka kau akan merasakan betapa indahnya sebuah ketulusan dari cinta.”.

Kata-kata itu rupanya mampu menohok kerongkonganku. Tenggorokanku terasa kering. Aku seperti telah membunuh seekor kucing yang begitu lucu. Seketika aku sadar. Tak seharusnya kupelihara cinta yang tak pada tempatnya ini. Dan kini, perlahan aku mulai menjauh dari Anton. Tak ada lagi kata SMS-an. Dan tak ada lagi kata chatting-an. Awalnya memang berat. Tapi sekarang.. Hmm.. Tak lagi demikian. Aku merasa terbebas dari belenggu hati kotor itu. Kini, aku berjanji. Seutuhnya, hatiku hanyalah milik Fahmi. Kekasihku. Kekasihku sedari lima tahun lalu. Orang terkasihku. Orang yang akan kuberikan hatiku seutuhnya.. Bukan separuh, seperempat, atau sepertiga. Tetapi seutuhnya. Ya. Seutuhnya. Hanya untuk dia.

“Biarkan cinta memercikkan cinta pada tempatnya. Kerana hanya pada tempatnyalah cinta dapat merasakan cinta yang indah karena cinta” Janjiku.

Tak Pernah Berujung


Ada yang berbeda ketika kumenatap wajah itu. Wajah yang tegas namun tenang. Ya. Itulah dia. Edo. Begitu kumenyapanya. Entah mengapa tiap kali kumenatap wajahnya, terasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mampu membuatku tak karuan berfantasi. Cinta. Ah, tidak. Rasanya terlalu dini kumengatakan itu. Sedang, aku mengenalnya saja tidak. Aku hanya seorang yang asing baginya. Dan begitupun sebaliknya. Dia hanya seorang asing bagiku. Hanya saja perbedaannya, dia seorang asing bagiku yang telah mampu membuatku merasa tak karuan tiap kali kumenatapnya. Sedang bagi dirinya, menatapku hanyalah bagai angin lalu saja. Mungkin itulah gambarannya.

Pagi itu tak sengaja kulihat ia sedang nongkrong di kantin Bu Minah. Kantin kampusku. Kulihat ia sedang bergurau dengan teman dekatnya. Sesekali kulirik ia. Dan sesekali pula dua pasang mata menatap pada satu titik. Ya. aku dan dirinya saling bertatapan. Lalu dengan secepat kilat aku berusaha memalingkan wajahku. Seolah tak terjadi apa-apa. Dan entah mengapa sejak kejadian itu, kita sering bertemu. Di perpustakaan, di kantin, di teras kelas, atau bahkan di tempat parkir. Dan entah mengapa pula, ia sering mencuri pandang terhadapku. Tapi aku hanya membiarkannya berlalu. Aku memilih tak mengartikan itu sebagai sesuatu yang berbeda. Karena sakit rasanya bila kenyataan tak sesuai dengan harapan. Dan aku terlampau takut dengan itu.
***
Suasana senja di pelataran sawah dekat rumahku begitu indah. Tak ada salahnya jika kali ini kunikmati senja di sana.

“Lukisan alam yang sangat indah”, gumamku.

Aku menikmati suguhan teristimewa dariNya. Sesekali kuhembusakan nafasku. Sebagai tanda bahwa aku masih bisa bernafas dan menikmati suguhan terindahNya. Setengah jam kurasa cukup untukku menikmatinya. Bahkan rasa penat akibat memikirkan tugas yang menggunung pun perlahan hilang. Pukul 17.30 aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Lima belas menit kemudian Dia mulai memanggilku dengan panggilan terindahNya. Aku mulai beranjak dan mengambil air wudhu. Dua puluh menit cukup bagiku untuk berkhalwat denganNya dan membaca surat cinta dariNya.

Aku merebahkan tubuhku di kamar. Mencoba  mengembalikan sejumlah tenaga untuk kukerahkan besok. Ya. Besok adalah hari terberat bagiku. Besok aku harus berkutat dengan lima mata kuliah. Itu cukup membuatku penat. Aku mulai terpejam. Namun suarahandphoneku kembali membangunkanku. Tertulis “1 pesan diterima”. Kubuka pesan itu. Ternyata dari nomor tak dikenal.

“Hai Dinar! Lagi ngapain?”

Aku meletakkan handphoneku pada tempatnya. Aku membiarkannya begitu saja. Tak mersepon. Sepuluh menit kemudian, handphoneku berbunyi kembali. Segera kuraihhandphoneku yang kutaruh di atas meja belajarku. Sebuah pesan diterima. Kubuka pesan itu. Ternyata dari nomor yang sama. Pun SMSnya masih sama seperti tadi. Kali ini aku tak membiarkannya. Aku memutuskan untuk membalas SMS itu.

“Siapa ya?”, balasku.  

Tak butuh waktu lama untukku mengetahui siapa pemilik nomor tak dikenal itu. Dua menit kemudian, handphoneku kembali berbunyi. Sebuah pesan diterima.

“Aku Edo. Anak Hukum, yang akhir-akhir ini sering bertemu denganmu saat di parkiran. Maaf ya, kalau aku ganggu kamu. Aku dapat nomormu dari Fita, temanmu. Ngga apa-apa kan?”, jelas ia dengan panjang lebar

Entah setan apa yang saat itu ada di pikiranku. Aku langsung menanggapinya dengan tangan terbuka. Entah mengapa hatiku seperti mendapat durian runtuh. Aku bahagia. Orang yang selama ini kukagumi dan kuanggap hanya ada dalam impianku, kini ia dekat denganku. Mulai saat itu, aku sangat dekat dengannya. Tak ada hari tanpa SMSan. Tapi tiba-tiba hari itu, aku mendengar kabar bahwa ternyata Edo terkenal dengan sifatplayboynya. Awalnya aku tak percaya. Seorang yang selama ini kupuja, kukagumi ternyata memiliki perangai yang buruk. Aku shock. Dan saat itu pula aku sangat kecewa padanya. Aku mulai menjauh darinya. Seminggu aku tak berkutat dengan SMS-SMS darinya. Pun ketika di kampus, aku menghindar darinya.

Dan tibalah saat itu. Malam itu, sebuah pesan meluncur ke handphoneku. Ia mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mencintaiku. Ya. Edo mencintaiku. Ia menjelaskan panjang lebar. Dan aku juga tak mau kalah. Kukeluarkan sejumlah argumenku. Dan pada akhirnya ia mengatakan bahwa ia akan berubah demi aku. Ya. Dia akan mengubah perangai buruknya untukku. Itu janjinya. Tapi bagiku, rasanya masih sulit untuk menerimanya begitu saja. Aku memang mencintainya. Tapi rasa kecewaku padanya juga sama besarnya. Kata orang, cinta tak memandang apapun. Cinta itu buta. Cinta selalu menerima apa adanya pasangan kita. Tapi bagiku, itu hanyalah isapan jempol belaka. Karena bagiku, cinta tidak pernah buta. Cinta selalu memiliki mata. Namun sikap dan nafsu manusianyalah yang membuat cinta menjadi buta. Dan aku adalah salah seorang yang tak mau menganggap cinta itu buta.  Dan sampai kini, aku membiarkan cerita itu berlalu begitu saja. Tak berujung. Seperti halnya cinta dan kecewaku padanya yang tak berujung.