Kamis, 22 Oktober 2015

Surat Cinta untuk Anak-anakku







Kudus, 6 Oktober 2015
Teruntuk anak-anak Ibu tercinta
Kelas VII A

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kepada Allah tiada hentinya Ibu ucapkan. Atas nikmat berupa kesempatan yang luar biasa ini. Nikmat-Nya yang mempertemukan Ibu dengan kalian J. Anak-anakku, apa kabar kalian? Tentu saat ini, detik ini, keadaan kalian sungguh jauh berbeda dengan saat kali pertama bertemu Ibu. Ibu yakin, telah banyak perubahan yang ada dalam diri kalian. Tentu perubahan yang lebih baik J.
Anak-anakku, saat kali pertama Ibu masuk di kelas kalian, ada rasa bahagia yang tak dapat Ibu lukiskan. Bagaimana tidak? Allah mengizinkan Ibu untuk belajar bersama kalian, kelas VII A. Kelas yang berbeda dari yang lain. Kelas favorit yang sudah tentu berisi anak-anak yang memiliki kemampaun luar biasa. Dan benar, kalian memang luar biasa. Terbukti dari nilai-nilai tugas dan nilai ulangan bahasa Indonesia kalian yang hampir selalu di atas rata-rata. Belajar bersama kalian terasa sangat menyenangkan bagi Ibu. Antusias kalian, perhatian kalian, canda tawa kalian, tentu akan menjadi hal yang tak dapat Ibu lupa. 
Hampir tiga bulan berlalu Ibu habiskan untuk belajar bersama kalian. Tentu banyak cerita pula yang telah kalian uraikan untuk Ibu. Dan lagi, tentu tak dapat Ibu jabarkan satu per satu. Keramaian kalian saat jam pelajaran, rengekan kalian yang minta pulang atau istirahat saat kelas lain sudah istirahat atau pulang, dan tentu rengekan kalian untuk foto bersama J. Hmmmm.. tentu tak pernah Ibu lupa.
Anak-anakku, waktu terus berjalan dan tak mungkin bisa Ibu hentikan. Tiga bulan hampir berlalu, dan itu artinya perpisahan semakin dekat. Aaahh, tiba-tiba ada rasa berat yang hinggap di hati Ibu. Ya. Ibu harus berpisah dengan kalian, anak-anak Ibu tercinta. Entah kalian merasakan hal yang sama atau tidak J.
Anak-anakku, selama hampir tiga bulan kebersamaan kita, tentu barangkali banyak sekali ucap maupun tingkah laku Ibu yang kurang berkenan di hati kalian. Maka, sebelum hari perpisahan tiba, Ibu minta maaf atas segala kesalahan Ibu yang mungkin membuat hati kalian terganggu atau bahkan terluka. Untuk lisan yang mungkin pernah membuat kalian terluka, juga untuk tingkah yang mungkin membuat kalian terganggu atau kurang nyaman. Maaf jika kehadiran Ibu barangkali membuat kalian terganggu.
Anak-anakku, Ibu menyayangi kalian karena Allah, Insya Allah J. Meskipun Ibu belum menjadi ibu sungguhan dan juga guru sungguhan, tapi mulai kali pertama Ibu bertemu kalian, Ibu berjanji akan menyayangi dan mendidik kalian dengan sepenuh hati Ibu. Anak-anak Ibu yang harus Ibu didik dengan baik.
Anak-anakku, Ibu tak dapat memberikan barang-barang yang mahal sebagai kenang-kenangan dari Ibu untuk kalian. Hanya ilmu yang dapat Ibu tinggalkan untuk kalian. Karena kelak, ilmulah yang akan menemani kalian dimanapun kalian berada. Juga ilmulah yang nanti akan menjaga kalian. Semoga sedikit ilmu yang Ibu bagikan untuk kalian, akan berguna untuk kehidupan kalian saat ini maupun kelak.
Anak-anakku, mungkin waktu akan terus berlalu, membawa buih-buih pergi menjauh. Dan manusia hanyalah butiran pasir yang berserak di hamparan zaman, yang mengikuti kemana angin takdir berhembus. Mungkin waktu bisa melapukkan batu, membuat besi menjadi berkarat, mengubah dunia menjadi tidak seperti yang kita kira dan angankan. Perjalanan yang kalian tempuh menuju masa depan masih sangatlah panjang. Tentu akan banyak rintangan yang harus kalian hadapi. Ya. Tantangan yang harus dihadapi, bukan dilewati. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus kalian wujudkan. Tentu dengan semangat dan kerja keras yang besar. Orang sukses, tidak dihasilkan dari perjuangan yang kecil, kemudian berhenti. Tetapi melalui perjuangan kecil yang terus berlanjut hingga menghasilkan sesuatu yang besar. Ketika kalian lengah, ingatlah bahwa di Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian perbatasan, banyak anak seusia kalian yang harus menempuh jarak yang panjang juga melewati derasnya arus sungai untuk belajar. Mereka tentu tak seberuntung kalian yang bisa bersekolah dengan nyaman, pulang pergi diantar orang tua, naik sepeda atau sepeda motor tanpa harus melewati jalan terjal, atau menggunakan telepon “pintar” (facebook, twitter, line, bbm, whatsapp) seperti kalian. Masih banyak teman-teman kalian yang membutuhkan tangan kalian. Maka mulai hari ini, berjanjilah untuk menjadi anak yang memiliki mimpi dan akan memperjuangkan mimpi-mimpi. Mimpi untuk membuat tanah tempat kalian berpijak menjadi lebih baik dari saat ini. Mimpi untuk membuat teman-teman kalian di Indonesia bagian lain, merasakan kenyamanan yang kalian rasakan saat ini.
Anak-anakku, jadilah orang yang cerdas dan memiliki hati yang bersih. Bagi yang muslim, salat lima waktu dan membaca Al Qur’an jangan pernah kalian tinggalkan. Dan bagi yang non muslim, rajinlah sembahyang sesuai yang diperintahkan agama masing-masing. Selalu libatkan Allah dalam setiap mimpi dan kerja keras kalian. Selalu minta restu orang tua, terutama Ibu untuk menapaki perjuanganmu. Bermimpilah, maka Allah akan memeluk mimpi-mimpi kalian. Belajarlah dimanapun, kapanpun, dan dari siapa pun. Lakukan semua aktivitas kalian dari hati dan dengan hati agar tak terasa berat. Mulailah bermimpi, mewujudkan mimpi, dan bermanfaat untuk orang lain. Dan jangan pernah lupa untuk bersyukur pada Allah. Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Indonesia menanti prestasi, karya, juga aksi kalian. Ibu tunggu karya-karya dan perstasi-prestasi kalian J.
Long life education! Figthting! Do the best and get the best! Make your dreams be come true! You’re can! J
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bertemu kalian adalah kado terindah dari Allah untuk Ibu. Semoga Allah mengizinkan pertemuan-pertemuan berikutnya untuk kita, suatu hari nanti. Insya Allah J.
Puput, Ammar, Anisa, Arvia, Daffa, Bintang, Ama, Didik, Erna, Nino, Iin, Ilham, Laras, Leni, Fadlil, Ulum, Fiko, Habib, Lutfi, Muthia, Mutiara, Muzaqi, Nofi, Yayan, Reni, Ricky, Risqi, Silvia, Fanya, Tiyo, Vera, Sari, Zahra, Rissa.


Yang akan selalu merindukan kalian,



Bu Nurul Khomariyah
PPL Bahasa Indonesia Unnes 2015


Selasa, 26 Mei 2015





Bersamamu, Menapaki Asa Menuju Cita Mulia


Adikku, lama rasanya tak bercakap hangat denganmu...
Tentu ada sejuta rindu dan juga kata yang tak dapat kami jabarkan satu per satu...
Adikku, bertemu denganmu satu tahun lalu adalah sebuah kebahagian yang tak terkira bagi kami...
Melihat semangatmu serta kerja-kerjamu untuk dakwah ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi kami..
Adikku, tanggal 15 Maret 2014 lalu, adalah hari saat kami berjanji untuk selalu bersamamu...
Menyayangimu, mengayomimu, membimbingmu, juga mendidikmu untuk menjadi insan yang tetap kokoh ketika kau menghadapi rintangan di jalan ini suatu saat nanti...
Adikku, menyaksikan serta mengikuti pertumbuhan juga perkembanganmu tiap waktu adalah sesuatu yang indah bagi kami...
Mengikuti alur perkembanganmu dari kau kecil hingga kau sebesar ini di sini...
Adikku, kini kau telah tumbuh dewasa di sini...
Saat ini, kaulah yang menggantikan posisi kami untuk menjadi orang tua di sini...
Menjadi orang tua, kakak, dan sekaligus sahabat bagi adik-adik kita yang baru..
Dan, 7 Maret 2015 merupakan hari yang menjadi saksi dari awal perjuanganmu...
Berjanji untuk “Menapaki Asa Menuju Cita Mulia” bersama adik-adik kita yang baru...
Adikku, tahukah kau ketika kami melihat semangat dan juga antusiasmu hari itu?
Hampir saja air mata bahagia ini ikut meramaikan rasa bahagia kami karena mampu membersamaimu sampai detik ini...
Adikku, tidak selamanya kami bisa menemanimu di sini...
Dan itu berarti kau harus siap jika suatu saat nanti kau yang harus dengan cepat dan bijak memutuskan segala sesuatu di rumah tangga atau keluarga kita...
Adikku, kami yakin, kau mampu bersikap dewasa dan bijak dalam menghadapi permasalahan yang pasti akan muncul dan menjadi pemanis ukhuwah di keluarga kita...
Adikku, kami juga yakin, kau mampu menjadi orang tua, kakak, dan juga sahabat yang dewasa dan bijak untuk adik-adik kita...
Adikku, sungguh kami teramat menyayangimu...
Bahkan untuk marah kepadamu pun kami tak pernah sampai hati...
Karena jika kami marah padamu, justru kesalahan besarlah yang tengah kami lakukan..
Jika kau belum mampu melakukan sesuatu, itu berarti kami yang belum berhasil memberikan banyak pengertian padamu agar kau tahu dan paham tentang segalanya...
Adikku, belajarlah untuk saling memahami dan mengerti keadaan saudaramu...
Memang, saling memahami dan mengerti adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dijalankan..
Tetapi adikku, selagi kemauan untuk belajar itu masih ada, semua akan terasa mudah..
Adikku, jaga, ayomi, dan didiklah adik kita dengan baik...
Kami yakin, kau adalah sosok yang luar biasa..
Maka bukan tidak mungkin, adik-adik kita akan menjadi orang luar biasa pula sepertimu...
Adikku, kami titipkan keluarga kita, padamu...
Semoga mimpi untuk “Menapaki Asa Menuju Cita Mulia” akan tetap dan selalu ada...
Kami tak pernah meninggalkanmu..
Rasa sayang kami, juga kepedulian kami masih dan selalu ada untukmu..
Jangan pernah khawatir...

Tetap lakukan yang terbaik untuk keluarga kita “Kalimasada”...


Keluarga Kecil Itu Tetap Ada

Bukankah hati kita telah lama menyatu
Dalam tali kisah persahabatan Ilahi
Pegang erat tangan kita terakhir kalinya
Hapus air mata meski kita kan terpisah
Selamat jalan teman
Tetaplah berjuang
Semoga kita bertemu kembali
Kenang masa indah kita
Sebiru hari ini
(Edcoustik: Sebiru Hari Ini)

15 Maret 2014
Satu tekad yang besar mencoba untuk kita ukir. Mengucap janji bersama untuk keluarga kecil kita. Saling mengeratkan genggaman dan saling menguatkan untuk bersama-sama membangun ukhuwah dan menunaikan amanah dengan baik. Ya. Itu tekad kita hari itu. Membangun semuanya dari nol. Meski kita tahu, tak semudah itu untuk menyatukan visi dan misi. Tetapi tekad menjadi modal kita saat itu.
April, Mei 2014
Dua bulan masa untuk ta’aruf dan tafahum bagi kita. Bukan sekadar mengenal nama, alamat, tanggal lahir, alamat kos, ataupun sebagainya. Tetapi lebih dari itu. Usaha yang lebih besar dari sekadar kata perkenalan (ta’aruf). Ya. Tafahum (saling memahami). Saling memahami karakter masing-masing adalah hal yang penting bagi kita. Bagi kita, saling memahami adalah kunci dari keharmonisan dan keutuhan keluarga kecil kita. Dua bulan kita berusaha merajutnya. Pun juga kita rajut dari nol. Tak mudah memang. Tetapi lagi-lagi janji dan tekad kita bulan Maret lalu mengalahkan semuanya. Kita berhasil membangun keluarga kecil ini untuk menjadi keluarga yang harmonis dan utuh.
Juli 2014
Ramadan yang jatuh pada bulan ini adalah sebuah berkah dan juga pertanda bagi kita. Pertanda bahwa ukhuwah dan keluarga yang kita rajut dua bulan lalu telah menuai hasil. Cakram. Ialah agenda yang menjadi bukti bahwa keluarga kita harmonis dan utuh. Bahu-membahu, saling menyemangati adalah modal kita untuk keharmonisan dan kesuksesan agenda keluarga kita. Ah, suatu kebahagiaan yang entah aku sendiri tak dapat melukiskannya. Tentunya kau juga merasakannya, bukan? ^_^
Agustus 2014
Inilah agenda terbesar kita yang kedua. Simaba. Kita mencoba membuat sebuah film pendek Islami untuk kita suguhkan dalam agenda terbesar kita saat itu. Ya. Meski di bulan ini, keluarga kita sudah mulai tak utuh dan harmonis lagi. Hmmm... ternyata ada rasa sedih juga yang diam-diam menyelinap di hati.
September, Oktober, November, Desember 2014
Tiga bulan selanjutnya adalah saatnya kita merajut ukhuwah dan keharmonisan keluarga kita kembali. Berat memang. Kita harus memulai dari nol lagi. Tapi, kita tak pernah menyerah. Keakraban, serta agenda-agenda lain kita lakukan. Ya. Meski kenyataannya keluarga kita tak bisa harmonis dan tak utuh lagi. Ah, sedih memang. Hmmm.. tiba-tiba ada tanda tanya besar juga yang muncul di pikiranku. Tak utuh dan tak harmonis lagi? Mungkinkah ini salahku? Mungkinkah aku yang belum bisa mempertahankan dan menjaga keutuhan serta keharmonisan keluarga kecil kita? Mungkinkah akhir-akhir ini aku yang kurang memberikan perhatian pada adik-adik dan juga teman-teman? Ah, entahlah. Karena apa dan mengapa, semua terasa berbeda. Hambar. Satu hal yang pasti, aku merasakan atmosfer yang berbeda saat itu. Bahkan di basecamp kita pun sudah tak banyak keluarga kita yang berkunjung.
17 Januari 2015

Inilah puncak dari kebersamaan kita. Inilah akhir dari cerita kita di episode ini. Demisioner atau pembubaran pengurus. Entah harus bahagia atau sedih yang kurasa. Bahagia, karena tanggung jawab dan amanah kita akan segera berakhir. Dan sedih, karena harus berpisah dari keluarga kecil kita dan melanjutkan amanah di episode dakwah kita selanjutnya. Memori satu tahun yang berhasil kita lalui saat itu menjelma menjadi potongan-potongan kisah yang mungkin tak kan terlupa dan selalu menghadirkan rindu. Mana mungkin bisa move on dari keluarga kecil kita? Kebersamaan kita? Canda tawa kita? Susah senang kita? Ketika menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan adik-adik adalah suatu kebahagiaan yang tak dapat terlukiskan. Membersamai mereka setahun ini adalah sesuatu yang indah. Melihat setiap waktu perubahan dan perkembangan mereka, serta proses metamorfosis yang mereka lalui. Semuanya adalah hal yang luar biasa bagiku, dan enggan untuk kulewatkan begitu saja. Tentu juga bagi kau, bukan? Dan kini, itu menjadi cerita dan kenangan bagi kita. Yang selalu kuingat, keluarga kecil kita akan tetap ada, meski masa bakti kita telah habis di sini. Cintaku untuk keluarga kecil ini, mungkin sama seperti cinta kalian di keluarga kecil kita. Ya. Cinta itu akan tetap dan selalu ada. Tetapi melanjutkan hidup di episode dakwah kita selanjutnya adalah hal yang harus kita lalui dan harus kita tunaikan dengan baik. Karena memberikan yang terbaik untuk jalan ini adalah sebuah keharusan. Itu bagiku. Dimana pun itu. Tentu bagi kau juga, bukan? Dan kini, di episode dakwah kita saat ini, telah menunggu kontribusi terbaik kita. Menunggu keringat-keringat kita, juga kerja-kerja kita untuk agamaNya. ^_^

Untukmu PH+ Linguabase


Saudaraku, entah dari mana aku harus memulai pembicaraan ini. Banyak kata yang rasanya terlalu sulit untuk kujabarkan satu per satu.

Saudaraku, bertemu dengan kalian adalah sebuah skenario Allah yang luar biasa. Cerita yang kita rangkai bukan hanya dimulai pada hari ini. Tetapi cerita kita berawal dari dua tahun lalu. Ya, berawal dari pertemuan kita di sini, di Linguabase. Dua tahun lalu, saat kita masih kecil dan belum tahu banyak tentang jalan ini. Dulu, kita selalu dituntun oleh kakak-kakak untuk bergerak. Mereka dengan sabar menuntun kita. Memberi pengertian, dan juga perhatian yang tak pernah luput. Selalu membersamai kita untuk tetap berada di jalan ini meski rasa lelah kerap menyapa. Hingga kita tumbuh dan akhirnya mengerti untuk apa dan mengapa kita harus berada di jalan ini. Ya, itu dua tahun lalu. Satu tahun berikutnya, akhirnya sedikit demi sedikit kita mampu melakukan sesuatu tanpa harus selalu dituntun. Dan, saat ini kitalah yang harus bergerak lebih banyak. Saat ini, kitalah yang menggantikan posisi mereka. Saudaraku, ketika dua tahun lalu kita tidak bisa bergerak tanpa instruksi dari mereka, maka saat inilah saatnya kita untuk mandiri. Belajar untuk dewasa dan bijak dalam bertindak maupun dalam mengambil keputusan. Bergerak banyak tanpa harus menunggu instruksi dari mereka. Belajar peka dengan keadaan yang menuntut kita untuk bekerja lebih banyak.

8 Maret 2015 adalah awal dari perjalanan kita. Mengucap janji dan komitmen untuk bersama-sama agar saling menguatkan, saling memahami, saling menerima, saling mengasihi, saling mengingatkan, dan saling-saling yang lainnya untuk mengemban amanah ini. Sebuah komitmen dan janji yang tentunya tak sekadar kata-kata yang keluar dari mulut kita saja, tetapi kata-kata yang keluar dari hati kita juga. Ph+ yang terdiri atas 25 orang. Sebuah angka yang ganjil namun terasa genap. Dan jika salah satu tidak ada, maka akan menjadi angka yang genap namun terasa ganjil.

Tubuh. Ya, begitu aku menganalogikan Linguabase. Terdiri dari pengurus harian dan jaringan, serta enam departemen yang bertugas untuk saling melengkapi. PH yang beranggotakan lima orang berjanji untuk menjadi tubuh yang mengayomi keluarga kita. Jaringan yang berjanji untuk membangun relasi agar hablumminannas antara pihak luar dengan keluarga kita terjalin dengan baik. Pembinaan dan kaderisasi yang berjanji untuk menjadi jantung yang selalu berdetak untuk keluarga kita. Syiar dan media yang berjanji untuk menjadi nadi yang terus berdenyut untuk keluarga kita. Muamalah yang berjanji untuk menjadi suplemen untuk keluarga kita agar tak kekurangan gizi, serta Annisa yang berjanji untuk menjadikan perempuan-perempuan di keluarga kita agar menjadi perempuan yang berkualitas. Tak hanya itu, di hari itu pulalah kita bertekad untuk menjadikan linguabase sebagai “Rumah Kita”. Ya, rumah. Tempat paling nyaman di antara tempat-tempat yang lain. Tempat yang paling memberikan kehangatan ketika tempat yang lain tak mampu menghangatkan. Tempat paling aman ketika banyak ancaman yang datang. Tempat paling menenangkan ketika banyak kepenatan yang menghampiri. Tempat yang akan selalu kita rindukan kemanapun kita melangkah.  Dan di rumah inilah, kita bisa menjadi diri kita sendiri tanpa harus menjadi diri orang lain.

Saudaraku, saling memahami dan saling menerima adalah dua hal yang mudah diucapkan, namun terasa sulit untuk dijalankan. Dan Saudaraku, tak terasa tiga bulan kita lalui bersama. Suka, duka, marah, kecewa, dan juga tawa telah kita rasakan bersama. Kau tentu masih ingat, bagaimana bingung dan khawatirnya kita ketika menghadapi salah satu agenda terbesar kita, yaitu ILDKB. Banyak perbedaan yang terkadang menjadikan emosi kita memuncak kala itu. Ketika banyak salah paham dan prasangka, itu karena kita yang kurang memahami dan mengerti satu sama lain. Tapi Saudaraku, aku yakin, emosi yang kala itu menguasaimu adalah sebagai salah satu bentuk dari kekhawatiran dan kebingunganmu untuk dapat menampilkan yang terbaik di acara kita itu.

Saudaraku, tak akan ada kata sulit ketika kita mau belajar. Belajar memahami dan menerima apapun dari Saudara kita yang lain. Karena perbedaan itulah, yang akan menimbulkan warna-warna yang indah. Ketika banyak warna-warna yang berbeda, maka tugas kita adalah meramu warna-warna itu agar menjadi warna yang indah. Mungkin satu tahun, dua tahun, lima tahun, bahkan puluhan tahun yang akan datang, kebersamaan inilah yang akan kita rindukan. Yakinlah, di setiap sudut ruang-ruang kampus dan gazebo-gazebo yang pernah kita gunakan akan menyimpan sejuta cerita yang tengah kita rangkai bersama ini.

Saudaraku, jangan pernah khawatir, selagi kita selalu bersama. Tak akan ada kata sulit ketika kita selalu bersama. Jangan pernah lepaskan genggaman kita. Pegang lebih erat genggaman tanganmu, ketika salah satu genggaman diantara kita mulai melemah. Jangan biarkan genggaman ini lepas. Karena ukhuwah ini tak akan hangat ketika salah satu diantara kita tidak ada. Tetaplah menjadi pribadi yang sederhana namun menyimpan sejuta makna. Karena kalian adalah luar biasa. Bahagia telah dipertemukan denganmu ^_^

Senin, 26 Mei 2014

Muhasabah Cinta


Assalamu’alaikum…

Bismillah…  Dengan nama Allah dan dengan tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat saya terhadap Anti. Izinkan saya untuk mengatakan suatu hal yang selama ini bersarang di hati saya. Bahwa saya menyukai Anti, Najwa Khoirunnisa . Afwan Ukhti, jika saya lancang mengtakan ini pada Ukhti. Bukan maksud saya untuk merendahkan kehormatan Anti. Saya hanya ingin mengatakan apa yang saya rasakan. Dan Insya Allah saya menyukai Anti karena Allah. Sekali lagi afwan Ukhti.

Deg… Jantungku seolah berhenti. Hatiku tak karuan rasanya. Seluruh tubuhku terasa lemas. Keringat dingin mengucur deras mengiringinya. Tangan dan kakiku terasa kaku dan dingin. Dan perlahan mataku mengkristal. Aku menangis sejadi-jadinya. Bukan tangis bahagia. Melainkan tangis kerana takut. Takut dengan cinta yang belum pada saatnya. Cinta yang belum menjadi hakku dan haknya. Cinta yang pasti akan mendatangkan murkaNya. Dan aku terlampau takut untuk itu.
Astaghfirullah. Engkau Dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkan hatiku pada agamaMu Ya Allah.”
Berkali-kali kulantunkan istighfar dalam hatiku. Aku tak mampu lagi berucap selain menyebut istighfar padaNya.
Akh Firdaus, aktivis dakwah di fakultasku yang terkenal alim dan cerdas menyatakan perasaannya padaku. Aktivis dakwah jurusan Bahasa Arab yang PPL dan KKNnya di Mesir karena IPnya yang selalu cumlaude. Kali pertama mengenalnya ketika kami disatukan dalam satu departemen di jalan dakwah. Akh Firdaus menjadi ketua departemen, dan aku menjadi salah satu staf di departemennya. Pernah suatu ketika aku tak sengaja berpapasan dengannya di depan jurusanku, Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat itu pun kami hanya berjalan biasa sembari menundukkan pandangan. Kami tak berani untuk saling pandang, terlebih untuk menyapa. Kembali, aku tak pernah menyangkanya. Tak pernah terbesit dalam pikirku bahwa Akh Firdaus mengatakan itu padaku. Memang, dua minggu terakhir ia sering mengirim sms taujih kepadaku. Sms-sms yang terkadang hanya berisi membangunkanku untuk qiyamul lail dan salat dhuha jika telah memasuki waktu dhuha. Namun hanya sekali aku membalasnya. Pun hanya kubalas dengan ucapan terima kasih karena telah mengingatkan untuk kebaikan, selanjutnya dibalas lagi, tapi tak kubalas. Sms hanya berakhir sampai itu. Selebihnya aku tak pernah membalasnya.
Aku menghela napas panjang. Air wudhu dan istighfar perlahan mampu meredam rasa gusarku. Aku memutuskan untuk membuka Al Qur’an. Membaca huruf demi huruf surat cintaNya untuk menemukan ketenangan hati. Aku membacanya hingga mataku tak mampu lagi berkompromi karena tak tahan dengan rasa kantuk. Aku berbaring. Namun aku tetap tak bisa tidur nyenyak. Pikiranku masih tertuju dengan sms Akh Firdaus tadi. Aku tak mau ini terus menjadi ganjalan di hatiku. Terlebih menjadi penyakit hati. Aku harus menemukan solusinya.  Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan ini pada murobbiku. Ya. Mba Hanifah, murobbiku dalam lingkaran cinta (halaqoh/liqo’). Murobbi yang luar biasa dengan keistiqomahan ibadahnya, ketawadhu’annya, kecantikan akhlaknya, dan tentunya yang menjadi inspirasiku untuk selalu menghafal setiap hari karena dengan hafalannya yang sudah hampir khatam 30 juz.  Tak jarang pula aku berdiskusi dengan beliau mengenai tugas-tugas perkuliahan. Karena kebetulan kami dari jurusan yang sama. Dan kali ini aku pun yakin, beliau pasti mempunyai solusi yang bijak untuk masalahku ini. Pikirku berkali-kali sembari mencoba menata hatiku kembali yang sedari tadi masih tercecer tak beraturan. Aku mulai mengetik huruf demi huruf untuk kukirimkan ke Mba Hanifah bahwa besok aku akan berkunjung ke kosnya. Dengan cepat kutekan tombol send pada Hpku. Aku mulai agak bernapas lega. Perlahan mataku terpejam.
***


“Assalamu’alaikum.”
Dengan hati yang penuh harap, aku mengetuk pintu kos Mba Hanifah. Satu wajah dengan tatapan yang teduh menyambutku di balik pintu. Ya. Dia adalah murobbiku. Mba Hanifah.
Wa’alaikumussalam. Eh, Nisa. Silakan masuk, Nduk. Langsung ke kamarnya Mba, ya!” ucapnya dengan senyum yang meneduhkan.
Nggih, Mba. Terima kasih,” balasku dengan senyum.

Selang beberapa menit, Mba Hanifah masuk dengan membawa secangkir teh hangat dan satu toples kue kering.
“Ada apa Nduk? Apa yang bisa Mba bantu?” tanya Mba Hanifah dengan lembut.
Aku menghela napas panjang.
“Langsung ke pokok permasalahannya saja ya Mba? Pripun?”
Mba Hanifah hanya membalas senyum lembut seraya mengangguk.
Bismillah. Begini Mba. Tadi malam, Akh Firdaus mengirim sms dan menyatakan perasaannya terhadap saya.”
Astaghfirullah. Kamu serius Nduk?”
Nggih, Mba. Coba Mba Hanifah lihat,” jawabku dengan suara agak parau karena perlahan air mataku keluar dengan deras seraya mengulurkan Hpku.
Perlahan Mba Hanifah membacanya. Lagi-lagi Mba Hanifah hanya mengucapkan istighfar.
“Apa yang harus saya perbuat Mba? Saya takut. Apakah selama ini saya kurang menjaga diri saya, sehingga menimbulkan fitnah dan menumbuhkan virus bagi Akh Firdaus? Adakah yang masih salah dalam diri saya, Mba?” tanyaku pada Mba Hanifah secara beruntun dengan diiringi air mata yang makin deras.
Nduk, jatuh cinta itu wajar. Sudah menjadi fitrah manusia untuk merasakan itu. Permasalahannya adalah bagaimana cara kita mengelola cinta itu agar tetap pada fitrahnya. Cinta itu tidak pernah salah. Hanya penempatan cinta dan ekspresi manusianyalah yang membuat cinta menjadi salah. Pandai-pandailah dan berhati-hatilah dalam menjaga hati. Jangan sampai cinta itu mendatangkan murkaNya. Selalu ingat Allah dalam setiap aktivitas kita agar hati kita selalu terkontrol. Selalu istighfar ketika kita mulai lalai dan lengah untuk menjaga hati. Menjadi wanita shalihah itu memang tidak mudah. Tapi Mba percaya pada Nisa. Nisa mampu menjaga diri, hati, dan kehormatan Nisa dengan baik. Tenangkan hatimu, Nduk. Istikharahlah padaNya. Minta ketenangan padaNya. Mintalah perlindungan dan penjagaan dariNya. Karena sebaik-baik penjagaan adalah dariNya. Mungkin tadi malam, iman Akh Firdaus sedang dalam keadaan turun, dan hatinya pun dalam keadaan kurang sehat.” Jelas Mba Hanifah dengan panjang lebar dan bijaksana.
Aku hanya terdiam. Sesekali kuhapus air mataku yang mengucur deras di pipiku. Mba Hanifah kembali berbicara.
“Mba punya ide. Bagaimana kalau Mba komunikasikan hal ini dengan murobbinya Akh Firdaus? Nanti Mba minta pada murobbinya Akh Firdaus untuk memberi nasihat dan renungan pada Akh Firdaus. Insya Allah dengan cara ini, bisa menyadarkan Akh Firdaus untuk kembali ke jalan yang lurus. Bagaimana Nduk? Kamu setuju?”  
“Mba yakin?”
Insya Allah
“Kalau Mba yakin, saya setuju. Saya percaya dengan Mba.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti malam Insya Allah Mba akan menghubungi murobbinya Akh Firdaus.”
“Terima kasih ya, Mba.”
“Iya, Nduk.” Jawab Mba Hanifah dengan senyum penuh ketulusan.
Aku memeluk Mba Hanifah dengan erat dan masih diiringi dengan air mata yang mengucur deras. Mba Hanifah membalas pelukanku dengan erat pula. Aku merasakan ukhuwah yang sangat erat. Ukhuwah yang dibangun atas dasar karenaNya. Perlahan hatiku mulai tenang. Aku mulai bernapas lega.


“Karena sebaik-baik penjagaan adalah penjagaan dariNya”

Sabtu, 23 November 2013

Sepercik Racun dalam Merah Marun


Cinta. Jika berbicara tentang cinta, rupanya tak pernah ada ujungnya. Selalu ada saja yang menarik darinya. Rayuannya yang begitu menggoda membuat para anak manusia mabuk kepayang dibuatnya. Bagiku, cinta itu suci. Cinta tak pernah salah. Hanya penempatan cinta dan ekspresi manusianyalah yang membuat cinta menjadi salah. Bagaimana ia menempatkan cinta pada haknya. Permasalahannya, bagaimana jika cinta lain tumbuh di tengah cinta yang ada? Haruskah cinta yang salah?

Malam itu ponselku berdering. Dengan secepat kilat aku meraih handphoneku yang sedari tadi kutaruh di atas meja belajarku. Kulihat layar ponselku. Tertulis “1 pesan diterima”. Kubuka pesan itu, dan hati-hati kubaca.

From: Anton.
“Alina, bagaimana kabarmu? Sudah makan malam belum?”

Seketika jantungku seolah berhenti. Hatiku gusar. Sebuah pesan yang kini berada dalam tubuh ponselku ternyata dari seseorang yang masih kerabatku. Ya. Anton. Anak dari sepupu ibuku. Kutahu sedari dulu ia mencintaiku. Dan perlahan aku pun mencintainya. Kita saling mencintai dalam diam. Lagi-lagi kini kumenyalahkan cinta. Mengapa cinta tumbuh pada tempat dan waktu yang salah? Mengapa cinta harus menghadirkan luka di dalam diam? Mengapa cinta hadir saat aku dan dirinya telah menjadi milik yang lain? Haruskah cinta yang selalu kusalahkan? Aku dilema. Aku terpenganga. Hatiku seperti terperosok dalam jurang yang terjal. Sakit. Perih. Aku terpenjara oleh rasaku. Haruskah kuteruskan kisah ini?

Anton yang kini telah beristri, diam-diam sering meneleponku. Meski hanya sekadar menanyakan kabar, atau bahkan hanya sekadar menanyakan aku baik-baik saja atau tidak. Dan… Lagi-lagi rasa itu terus tumbuh subur dalam hati yang kini kunamai dengan cinta. Ya. Cinta. Aku dilema. Aku seperti berjalan di atas air keruh. Berat, kotor. Berat kujalani kisah terlarang ini. Dan rasanya kotor sekali perasaan yang kini ada dalam hatiku. Orang bilang aku berselingkuh dengannya. Namun dengan tegas aku mengatakan “tidak”. Aku tidak selingkuh. Jangankan berbicara panjang lebar dan bercanda bersama. Menatapnya, bertemu dengannya, atau bahkan sekadar menyapa saja aku dan dirinya tak pernah. Tak pernah sama sekali. Tapi apa namanya jika kita memiliki rasa dengan laki-laki lain dan membagi cinta kita padanya? Bukankah itu selingkuh? Kita saling mencintai dalam diam. Ya. Mencintai dalam diam. Dan untuk kesekian kalinya, hatiku linglung. Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak tahu arah. Beruntung aku memiliki sahabat yang cukup bijaksana. Ya. Ialah Alya. Nasihatnya perlahan mampu mengubah perasaanku terhadap Anton. Satu hal yang selalu kuingat dari nasihatnya.

“Berikan seluruh cintamu pada pasanganmu. Karena hanya dia yang berhak mendapatkannya. Dan selalu bayangkan ketika suatu saat kamu mengalami sakit, pasanganmu yang selalu ada di sisimu. Dialah orang yang paling khawatir terhadapmu. Ingatlah, cinta membuat kita menjadi pribadi yang dewasa dan pandai memanage hati. Bukan membagi hati. Cinta dari orang yang mengasihi kita itu penting. Tetapi jauh lebih penting seberapa besar cinta yang bisa kita berikan terhadap orang yang menyayangi kita. Seutuhnya, bukan separuh. Berikan seutuhnya. Maka kau akan merasakan betapa indahnya sebuah ketulusan dari cinta.”.

Kata-kata itu rupanya mampu menohok kerongkonganku. Tenggorokanku terasa kering. Aku seperti telah membunuh seekor kucing yang begitu lucu. Seketika aku sadar. Tak seharusnya kupelihara cinta yang tak pada tempatnya ini. Dan kini, perlahan aku mulai menjauh dari Anton. Tak ada lagi kata SMS-an. Dan tak ada lagi kata chatting-an. Awalnya memang berat. Tapi sekarang.. Hmm.. Tak lagi demikian. Aku merasa terbebas dari belenggu hati kotor itu. Kini, aku berjanji. Seutuhnya, hatiku hanyalah milik Fahmi. Kekasihku. Kekasihku sedari lima tahun lalu. Orang terkasihku. Orang yang akan kuberikan hatiku seutuhnya.. Bukan separuh, seperempat, atau sepertiga. Tetapi seutuhnya. Ya. Seutuhnya. Hanya untuk dia.

“Biarkan cinta memercikkan cinta pada tempatnya. Kerana hanya pada tempatnyalah cinta dapat merasakan cinta yang indah karena cinta” Janjiku.

Tak Pernah Berujung


Ada yang berbeda ketika kumenatap wajah itu. Wajah yang tegas namun tenang. Ya. Itulah dia. Edo. Begitu kumenyapanya. Entah mengapa tiap kali kumenatap wajahnya, terasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mampu membuatku tak karuan berfantasi. Cinta. Ah, tidak. Rasanya terlalu dini kumengatakan itu. Sedang, aku mengenalnya saja tidak. Aku hanya seorang yang asing baginya. Dan begitupun sebaliknya. Dia hanya seorang asing bagiku. Hanya saja perbedaannya, dia seorang asing bagiku yang telah mampu membuatku merasa tak karuan tiap kali kumenatapnya. Sedang bagi dirinya, menatapku hanyalah bagai angin lalu saja. Mungkin itulah gambarannya.

Pagi itu tak sengaja kulihat ia sedang nongkrong di kantin Bu Minah. Kantin kampusku. Kulihat ia sedang bergurau dengan teman dekatnya. Sesekali kulirik ia. Dan sesekali pula dua pasang mata menatap pada satu titik. Ya. aku dan dirinya saling bertatapan. Lalu dengan secepat kilat aku berusaha memalingkan wajahku. Seolah tak terjadi apa-apa. Dan entah mengapa sejak kejadian itu, kita sering bertemu. Di perpustakaan, di kantin, di teras kelas, atau bahkan di tempat parkir. Dan entah mengapa pula, ia sering mencuri pandang terhadapku. Tapi aku hanya membiarkannya berlalu. Aku memilih tak mengartikan itu sebagai sesuatu yang berbeda. Karena sakit rasanya bila kenyataan tak sesuai dengan harapan. Dan aku terlampau takut dengan itu.
***
Suasana senja di pelataran sawah dekat rumahku begitu indah. Tak ada salahnya jika kali ini kunikmati senja di sana.

“Lukisan alam yang sangat indah”, gumamku.

Aku menikmati suguhan teristimewa dariNya. Sesekali kuhembusakan nafasku. Sebagai tanda bahwa aku masih bisa bernafas dan menikmati suguhan terindahNya. Setengah jam kurasa cukup untukku menikmatinya. Bahkan rasa penat akibat memikirkan tugas yang menggunung pun perlahan hilang. Pukul 17.30 aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Lima belas menit kemudian Dia mulai memanggilku dengan panggilan terindahNya. Aku mulai beranjak dan mengambil air wudhu. Dua puluh menit cukup bagiku untuk berkhalwat denganNya dan membaca surat cinta dariNya.

Aku merebahkan tubuhku di kamar. Mencoba  mengembalikan sejumlah tenaga untuk kukerahkan besok. Ya. Besok adalah hari terberat bagiku. Besok aku harus berkutat dengan lima mata kuliah. Itu cukup membuatku penat. Aku mulai terpejam. Namun suarahandphoneku kembali membangunkanku. Tertulis “1 pesan diterima”. Kubuka pesan itu. Ternyata dari nomor tak dikenal.

“Hai Dinar! Lagi ngapain?”

Aku meletakkan handphoneku pada tempatnya. Aku membiarkannya begitu saja. Tak mersepon. Sepuluh menit kemudian, handphoneku berbunyi kembali. Segera kuraihhandphoneku yang kutaruh di atas meja belajarku. Sebuah pesan diterima. Kubuka pesan itu. Ternyata dari nomor yang sama. Pun SMSnya masih sama seperti tadi. Kali ini aku tak membiarkannya. Aku memutuskan untuk membalas SMS itu.

“Siapa ya?”, balasku.  

Tak butuh waktu lama untukku mengetahui siapa pemilik nomor tak dikenal itu. Dua menit kemudian, handphoneku kembali berbunyi. Sebuah pesan diterima.

“Aku Edo. Anak Hukum, yang akhir-akhir ini sering bertemu denganmu saat di parkiran. Maaf ya, kalau aku ganggu kamu. Aku dapat nomormu dari Fita, temanmu. Ngga apa-apa kan?”, jelas ia dengan panjang lebar

Entah setan apa yang saat itu ada di pikiranku. Aku langsung menanggapinya dengan tangan terbuka. Entah mengapa hatiku seperti mendapat durian runtuh. Aku bahagia. Orang yang selama ini kukagumi dan kuanggap hanya ada dalam impianku, kini ia dekat denganku. Mulai saat itu, aku sangat dekat dengannya. Tak ada hari tanpa SMSan. Tapi tiba-tiba hari itu, aku mendengar kabar bahwa ternyata Edo terkenal dengan sifatplayboynya. Awalnya aku tak percaya. Seorang yang selama ini kupuja, kukagumi ternyata memiliki perangai yang buruk. Aku shock. Dan saat itu pula aku sangat kecewa padanya. Aku mulai menjauh darinya. Seminggu aku tak berkutat dengan SMS-SMS darinya. Pun ketika di kampus, aku menghindar darinya.

Dan tibalah saat itu. Malam itu, sebuah pesan meluncur ke handphoneku. Ia mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mencintaiku. Ya. Edo mencintaiku. Ia menjelaskan panjang lebar. Dan aku juga tak mau kalah. Kukeluarkan sejumlah argumenku. Dan pada akhirnya ia mengatakan bahwa ia akan berubah demi aku. Ya. Dia akan mengubah perangai buruknya untukku. Itu janjinya. Tapi bagiku, rasanya masih sulit untuk menerimanya begitu saja. Aku memang mencintainya. Tapi rasa kecewaku padanya juga sama besarnya. Kata orang, cinta tak memandang apapun. Cinta itu buta. Cinta selalu menerima apa adanya pasangan kita. Tapi bagiku, itu hanyalah isapan jempol belaka. Karena bagiku, cinta tidak pernah buta. Cinta selalu memiliki mata. Namun sikap dan nafsu manusianyalah yang membuat cinta menjadi buta. Dan aku adalah salah seorang yang tak mau menganggap cinta itu buta.  Dan sampai kini, aku membiarkan cerita itu berlalu begitu saja. Tak berujung. Seperti halnya cinta dan kecewaku padanya yang tak berujung.