Assalamu’alaikum…
Bismillah… Dengan nama
Allah dan dengan tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat saya terhadap Anti. Izinkan saya untuk mengatakan
suatu hal yang selama ini bersarang di hati saya. Bahwa saya menyukai Anti, Najwa Khoirunnisa . Afwan Ukhti, jika saya lancang mengtakan
ini pada Ukhti. Bukan maksud saya
untuk merendahkan kehormatan Anti.
Saya hanya ingin mengatakan apa yang saya rasakan. Dan Insya Allah saya menyukai Anti
karena Allah. Sekali lagi afwan Ukhti.
Deg… Jantungku seolah berhenti. Hatiku tak karuan
rasanya. Seluruh tubuhku terasa lemas. Keringat dingin mengucur deras
mengiringinya. Tangan dan kakiku terasa kaku dan dingin. Dan perlahan mataku
mengkristal. Aku menangis sejadi-jadinya. Bukan tangis bahagia. Melainkan
tangis kerana takut. Takut dengan cinta yang belum pada saatnya. Cinta yang
belum menjadi hakku dan haknya. Cinta yang pasti akan mendatangkan murkaNya. Dan
aku terlampau takut untuk itu.
“Astaghfirullah.
Engkau Dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkan hatiku pada agamaMu Ya Allah.”
Berkali-kali kulantunkan istighfar dalam hatiku. Aku
tak mampu lagi berucap selain menyebut istighfar padaNya.
Akh Firdaus, aktivis dakwah di fakultasku yang terkenal
alim dan cerdas menyatakan perasaannya padaku. Aktivis dakwah jurusan Bahasa
Arab yang PPL dan KKNnya di Mesir karena IPnya yang selalu cumlaude. Kali pertama mengenalnya ketika kami disatukan dalam satu
departemen di jalan dakwah. Akh
Firdaus menjadi ketua departemen, dan aku menjadi salah satu staf di
departemennya. Pernah suatu ketika aku tak sengaja berpapasan dengannya di
depan jurusanku, Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat itu pun kami hanya berjalan
biasa sembari menundukkan pandangan. Kami tak berani untuk saling pandang,
terlebih untuk menyapa. Kembali, aku tak pernah menyangkanya. Tak pernah
terbesit dalam pikirku bahwa Akh
Firdaus mengatakan itu padaku. Memang, dua minggu terakhir ia sering mengirim
sms taujih kepadaku. Sms-sms yang terkadang hanya berisi membangunkanku untuk qiyamul lail dan salat dhuha jika telah
memasuki waktu dhuha. Namun hanya sekali aku membalasnya. Pun hanya kubalas
dengan ucapan terima kasih karena telah mengingatkan untuk kebaikan,
selanjutnya dibalas lagi, tapi tak kubalas. Sms hanya berakhir sampai itu.
Selebihnya aku tak pernah membalasnya.
Aku menghela napas panjang. Air wudhu dan istighfar
perlahan mampu meredam rasa gusarku. Aku memutuskan untuk membuka Al Qur’an.
Membaca huruf demi huruf surat cintaNya untuk menemukan ketenangan hati. Aku
membacanya hingga mataku tak mampu lagi berkompromi karena tak tahan dengan
rasa kantuk. Aku berbaring. Namun aku tetap tak bisa tidur nyenyak. Pikiranku
masih tertuju dengan sms Akh Firdaus
tadi. Aku tak mau ini terus menjadi ganjalan di hatiku. Terlebih menjadi
penyakit hati. Aku harus menemukan solusinya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan ini pada murobbiku. Ya. Mba Hanifah, murobbiku
dalam lingkaran cinta (halaqoh/liqo’). Murobbi yang luar biasa dengan keistiqomahan ibadahnya, ketawadhu’annya, kecantikan akhlaknya, dan
tentunya yang menjadi inspirasiku untuk selalu menghafal setiap hari karena
dengan hafalannya yang sudah hampir khatam 30 juz. Tak jarang pula aku berdiskusi dengan beliau
mengenai tugas-tugas perkuliahan. Karena kebetulan kami dari jurusan yang sama.
Dan kali ini aku pun yakin, beliau pasti mempunyai solusi yang bijak untuk
masalahku ini. Pikirku berkali-kali sembari mencoba menata hatiku kembali yang
sedari tadi masih tercecer tak beraturan. Aku mulai mengetik huruf demi huruf
untuk kukirimkan ke Mba Hanifah bahwa besok aku akan berkunjung ke kosnya. Dengan
cepat kutekan tombol send pada Hpku.
Aku mulai agak bernapas lega. Perlahan mataku terpejam.
***
“Assalamu’alaikum.”
Dengan hati yang penuh harap, aku mengetuk pintu kos
Mba Hanifah. Satu wajah dengan tatapan yang teduh menyambutku di balik pintu.
Ya. Dia adalah murobbiku. Mba
Hanifah.
“Wa’alaikumussalam.
Eh, Nisa. Silakan masuk, Nduk.
Langsung ke kamarnya Mba, ya!” ucapnya dengan senyum yang meneduhkan.
“Nggih, Mba.
Terima kasih,” balasku dengan senyum.
Selang beberapa menit, Mba Hanifah masuk dengan
membawa secangkir teh hangat dan satu toples kue kering.
“Ada apa Nduk?
Apa yang bisa Mba bantu?” tanya Mba Hanifah dengan lembut.
Aku menghela napas panjang.
“Langsung ke pokok permasalahannya saja ya Mba? Pripun?”
Mba Hanifah hanya membalas senyum lembut seraya
mengangguk.
“Bismillah.
Begini Mba. Tadi malam, Akh Firdaus
mengirim sms dan menyatakan perasaannya terhadap saya.”
“Astaghfirullah.
Kamu serius Nduk?”
“Nggih, Mba.
Coba Mba Hanifah lihat,” jawabku dengan suara agak parau karena perlahan air
mataku keluar dengan deras seraya mengulurkan Hpku.
Perlahan Mba Hanifah membacanya. Lagi-lagi Mba Hanifah
hanya mengucapkan istighfar.
“Apa yang harus saya perbuat Mba? Saya takut. Apakah
selama ini saya kurang menjaga diri saya, sehingga menimbulkan fitnah dan menumbuhkan
virus bagi Akh Firdaus? Adakah yang
masih salah dalam diri saya, Mba?” tanyaku pada Mba Hanifah secara beruntun dengan
diiringi air mata yang makin deras.
“Nduk, jatuh
cinta itu wajar. Sudah menjadi fitrah manusia untuk merasakan itu.
Permasalahannya adalah bagaimana cara kita mengelola cinta itu agar tetap pada
fitrahnya. Cinta itu tidak pernah salah. Hanya penempatan cinta dan ekspresi
manusianyalah yang membuat cinta menjadi salah. Pandai-pandailah dan
berhati-hatilah dalam menjaga hati. Jangan sampai cinta itu mendatangkan
murkaNya. Selalu ingat Allah dalam setiap aktivitas kita agar hati kita selalu
terkontrol. Selalu istighfar ketika kita mulai lalai dan lengah untuk menjaga
hati. Menjadi wanita shalihah itu memang tidak mudah. Tapi Mba percaya pada
Nisa. Nisa mampu menjaga diri, hati, dan kehormatan Nisa dengan baik. Tenangkan
hatimu, Nduk. Istikharahlah padaNya.
Minta ketenangan padaNya. Mintalah perlindungan dan penjagaan dariNya. Karena
sebaik-baik penjagaan adalah dariNya. Mungkin tadi malam, iman Akh Firdaus sedang dalam keadaan turun,
dan hatinya pun dalam keadaan kurang sehat.” Jelas Mba Hanifah dengan panjang
lebar dan bijaksana.
Aku hanya terdiam. Sesekali kuhapus air mataku yang
mengucur deras di pipiku. Mba Hanifah kembali berbicara.
“Mba punya ide. Bagaimana kalau Mba komunikasikan hal
ini dengan murobbinya Akh Firdaus? Nanti Mba minta pada murobbinya Akh Firdaus untuk memberi nasihat dan renungan pada Akh Firdaus. Insya Allah dengan cara ini, bisa menyadarkan Akh Firdaus untuk kembali ke jalan yang lurus. Bagaimana Nduk? Kamu setuju?”
“Mba yakin?”
“Insya Allah”
“Kalau Mba yakin, saya setuju. Saya percaya dengan
Mba.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti malam Insya Allah Mba akan menghubungi murobbinya Akh Firdaus.”
“Terima kasih ya, Mba.”
“Iya, Nduk.”
Jawab Mba Hanifah dengan senyum penuh ketulusan.
Aku memeluk Mba Hanifah dengan erat dan masih diiringi
dengan air mata yang mengucur deras. Mba Hanifah membalas pelukanku dengan erat
pula. Aku merasakan ukhuwah yang sangat
erat. Ukhuwah yang dibangun atas
dasar karenaNya. Perlahan hatiku mulai tenang. Aku mulai bernapas lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar